Tampilkan postingan dengan label Blog. Tampilkan semua postingan

Siapa yang tidak pernah main ke Dunia Fantasi (Baca: Dufan). Orang kesana tujuannya untuk wisata, bersenang-senang. Tapi tunggu dulu, bukank...

Siapa yang tidak pernah main ke Dunia Fantasi (Baca: Dufan). Orang kesana tujuannya untuk wisata, bersenang-senang. Tapi tunggu dulu, bukankah wahana di sana banyak yang membuat kita panik, teriak, takut, alih-alih membuat kita senang. Bahkan wahana kora-kora dan roller coster tak kalah banyak antriannya dengan wahana istana boneka. Dan kalau diselami lebih jauh, aslinya mereka yang mengantri di wahana istana boneka pun ingin mengantri di wahana yang menantang. Namun demi anak kesayangan, ya sudahlah mengalah dulu di wahana istana boneka.


Photo by Gabriel Valdez on Unsplash

Saya pernah mengantri di wahana istana boneka. Tidak ada tantangan. Hanya duduk manis di perahu, terus disambut pemandangan boneka berbagai rupa di kanan dan kiri. Setelah keluar dari wahana itu, kesan saya, mulai dari masuk hinga keluar wahana, ya sudah, begitu saja. Tidak impresif. Lain hal ketika saya menjajal wahana tornado, histeria dan roller coster, sensasinya sangat lain. Menjelang naik wahana, kaki sudah lemas. Mundur gak ya, mundur gak ya. Tapi akhirnya naik juga. Saat naik, jantung sudah tidak karuan. Menjelang punch-line wahana, misal saat di tornado adalah ketika berada di atas, wahana di-freeze, kepala saya ada di bawah, kaki di atas. Posisi ada di ketinggian kurang lebih 50 meter dari tanah. Di wahana histeria punch-line begitu terasa ketika badan terhentak ke atas secara spontan, kemudian dibanting ke bawah. Jantung bak mau lepas.


Selesai menaiki wahana ekstrim, kita turun dengan bangga. Serasa menjadi pahlawan yang berhasil mengalahkan sesuatu. Dalam hal ini, ketakutan kita sendiri. Ragam perasaan yang bercampur ketika berada di wahana menghasilkan produk akhir bernama kepuasan. Gila bener gue. Begitulah rasanya. Kamu pasti paham. Pulang dari Dufan, rasanya yang paling diingat adalah wahana ekstrim ketimbang wahana istana boneka.


Benang merahnya. Rasa puas dan senang justru muncul dari wahana-wahana ekstrim, yang notabene tak menyenangkan. Wahana yang notabene dibuat menyenangkan malah tak berhasil membuat kita puas dan senang. Tujuan kita ke Dufan untuk alasan bersenang-senang menjadi ambigu, karena kita dibuat senang oleh wahana yang aslinya dibuat menakutkan dan tak menyenangkan. 


Tapi begitulah kita, kadang dalam hidup kita bercita-cita untuk senang bahagia. Namun saat kita mencapai situasi itu kita malah tak senang dan biasa. Tapi giliran hidup ada di fase jungkir balik, kita mengeluh tak terima. Kok hidup tak adil, kapan aku bahagia. Sebetulnya saya ada di posisi ragu seragu-ragunya. Andaipun hidup kalem, adem ayem tentrem, seperti di wahana istana boneka, saya yakin kita juga tetap tidak akan merasa bahagia.


Sebetulnya, jungkir balik hidup kita sudah benar adanya. Hadapi saja. Rasakan ledakan adrenalinnya. Nikmati. Selesaikan. Ada masanya kita akan merasa puas dan senang ketika sudah melewatinya. Percaya saja.[]

Dunia pekerjaan masuk ke dalam lingkaran Wheel of Life . Terlepas pekerjaan kita sesuai passion atau jebakan situasi, kita mafhum bahwa fina...

Dunia pekerjaan masuk ke dalam lingkaran Wheel of Life. Terlepas pekerjaan kita sesuai passion atau jebakan situasi, kita mafhum bahwa finalisasi dari bekerja adalah mendapatkan income. Mendapatkan penghasilan.


Penghasilan untuk apa?


Untuk bertahan hidup.


Photo by Jason Goodman on Unsplash


Bekerja, lalu cuan. Ya memang sesederhana itu awalnya. Yang tidak sederhana adalah ketika drama mulai terjadi saat bekerja. Apapun genre pekerjaannya, lepas jualan produk atau jasa, hampir 100% kita akan dihadapkan pada banyak konflik. Mulai dari konflik dengan kastamer atau klien. Konflik dengan atasan. Konflik dengan bawahan. Konflik dengan rekan satu divisi.  Dan konflik-konflik lain yang tak bisa saya urai satu-satu.


Konflik itu membawa pengaruh ke dalam suasana pekerjaan. Situasi menjadi tidak nyaman. Canggung. Sesak di dada. Tidak jarang hal ini membuat dorongan resign semakin kuat. Berangkat bekerja serasa berat. Ingin rasanya kendaraan yang kita naiki itu mundur ke belakang. Kalau bisa jangan sampai ke tempat kerja. Saking malasnya mengahadpi konflik.


Sisi lain kita harus tetap bekerja demi bertahan hidup. Tapi di sisi lain, situasi kerja sudah karut-marut. Konflik di sana-sini. Pikiran semakin tidak jernih, di tempat kerja baru kayanya enak nih, gak bakal ada konflik. Gak juga. Ya sama saja.


Ternyata resign pun bukan solusi. Bayangan bahwa di tempat kerja baru pasti enak dan minim konflik, itu jelas ilusi. Tapi bertahan di tempat kerja lama rasanya pingin mati. Apa bikin usaha saja, wirausaha. Pasti gak ada konflik, kan kita gak ditunjuk-tunjuk lagi sama orang. Ya enggak juga. Konflik dengan bawahan sama pusingnya dengan konflik sama atasan.


Lantas saya harus apa? Untuk menghindari konflik ini? Agar saya bekerja damai tentram?


Motif awal bekerja untuk bertahan hidup dan tentram, malah jadi tidak tentram karena pekerjaan itu sendiri. Belum lagi kalau kita bicara pekerjaan yang tidak sesuai passion lah. Tidak sesua ijazah lah. Tidak sepenuh hati lah. Wong jelas-jelas pekerjaan yang sesuai passion, ijazah dan sepenuh hati saja konflik masih sangat mungkin terjadi.


Jika ini terjadi, maka salah satu jari-jari dalam Wheel of Life kita mengalami hambatan. Pekerjaan yang tidak membuatmu nyaman, rentan kamu tinggalkan. Jika kita hidup tanpa pekerjaan, maka kita tak punya pendapatan. Hidup akan terasa sangat berat jika kita tak punya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan.


Mas Rakan bawel. Terus saya harus ngapain?


Ya, gak tahu. Meneketehe.


Hehe. 


Enggak ding.


Yang harus kamu lakukan adalah benahi dulu manajemen konflik dalam diri kamu. Jika itu sudah kelar, kamu akan siap membenahi konflik dengan siapapun. Cerita yang saya gambarkan di atas, tidak bakal ada kalau..


Kalau kamu segera menghubungi saya untuk belajar manajemen konflik. Di mana ini adalah satu subtopik dalam sesi Penyembuhan Integratif


Itu saja, sih. 


Tidak pernah ada yang sederhana kalau berurusan dengan jalan raya. Senggolan knalpot motor, ngamuk. Merasa disalip, gak terima, ngamuk. Dise...

Tidak pernah ada yang sederhana kalau berurusan dengan jalan raya. Senggolan knalpot motor, ngamuk. Merasa disalip, gak terima, ngamuk. Diseruduk kendaraan lain dari belakang, ngamuk. Tak sengaja saling bertatap-tatapan mata dengan pengendara lain, ya ngamuk lagi.


Photo by Julien L on Unsplash

Apapun masalahnya, ngamuk solusinya. Ngamuk everywhere. Everytime.


Mulanya saya berpikir: Mbok ya masalah disalip doang koq ngamuk. Mbok ya salip lagi saja. Atau paling tidak, jalan raya kan memang bukan arena balapan, salip-salipan, sungguhpun kita menjadi yang di depan, itu tidak otomatis membuat kita mendapatkan medali. Kecuali kalau memang kita sedang menjadi peserta turnamen balapan. 


Hampir semua kejadian ribut-ribut besar di jalanan berangkat dari masalah yang dianggap sepele. Namun itu adalah pandangan tunggal nan sempit. Karena pandangannya dibuat tunggal, hanya ditujukan pada kejadian yang sedang berlangsung. Komentar yang dilontarkan biasanya seperti ini: Kenapa ribut-ribut tuh? Biasa, senggolan senggolan doang. 


Setelah saya merenung 10 jam, iya, mulanya memang senggolan knalpot doang. Tapi sebelum terjadinya senggolan knalpot itu, kita juga perlu tahu, apa yang sebelumnya dialami si korban, sebelum terjadi “senggolan knalpot doang” itu. Boleh jadi masalah utamanya memang bukan senggolan-senggolan doang, tapi ada kehormatan atau harga diri yang tersenggol di tempat lain. Pada akhirnya, senggolan knalpot doang merupakan trigger atau pemicu ledakan amarah si korban senggolan knalpot itu.


Pandangan tunggal nan sempit itu pun saya coba kembangkan. Saya akan buat ilustrasi: Sebut saja namanya Dafa, ia adalah seorang TNI pangkat rendah di kesatuannya. Karena ada masalah disiplin, di satu hari dia kena semprot komandannya. Bukan cuma semprotan lisan, Dafa juga dihukum push-up 250 kali, namun pada hitungan ke 236, dia ambruk karena pegal, Dafa kena tampar komandannya, lantas disuruh mengulang push-up dari awal. Dafa kesal, tapi tak bisa melawan. Ia pun pasrah mengulang dari awal.


Hari itu kekesalan Dafa membuncah, namun tak kuasa dikeluarkan. Sang komandan memang bukan tandingannya. Ia hanya menahan amarahnya. Kalem di luar, mendidih di dalam. Sampai jam piket berakhir, ia pulang ke rumah membawa kedongkolan luar biasa pada sang komandan. Di lampu merah menuju jalan pulang, tiba-tiba ia diseruduk bocil dari belakang. Tidak terlalu keras, pun tak sampai membuat spakbor belakang motornya penyok. 


Dafa yang sudah menabung kekesalan dari kantor, langsung turun dari motornya melabrak si bocil, “Maksud lu apa nyeruduk-nyeruduk?” Bocil yang gelagapan melihat TNI berseragam, “Ampun, Bang, maaf gak sengaja.” Dafa Muntab, “apa lu gak sengaja?” Bogem mentah pun mendarat di wajah bocil. Pengendara lain menonton. Para ojol yang melintas sibuk mengeluarkan gawainya: mengabadikan momen dramatis untuk dibagikan di grup ojol. “Parah, anggota TNI nampol bocil.” Begitulah kapsi pada video yang mereka bagikan.


Urusan semakin meruncing. Kamu bisa menebak kelanjutannya seperti apa.


Lihatlah, sejatinya Dafa tidak marah kepada si Bocil. Dafa marah dan kesal kepada komandannya. Diseruduk hanya pemicu. Ditambah yang menyeruduk dinilai tampak tak berdaya dan lemah secara status sosial menurut Dafa. Akhirnya Dafa melampiaskan amarahnya secara membabibuta. Dalam situasi itu, yang ada dalam pikiran Dafa bukan “Apa konsekuensi saya melakukan tindakan berlebihan ini?” tapi “Bodo amat, yang penting kedongkolan saya terselesaikan.” Pikiran rasional dalam kondisi tidak berlaku. Bahwa di ujung cerita Dafa menyesal. Kasus menjadi viral, bahkan bisa melibatkan institusi. Yang lebih fatal, boleh jadi aksi bogem mentah kepada si bocil tadi adalah titik awal Dafa harus menggantungkan seragam TNI-nya: dipecat. Membuat karir Dafa menjadi suram.


Cerita lainnya lebih berwarna dan beragam. Namun benang merahnya adalah, ngamuk di jalan itu adalah satu situasi, namun situasi lain yang melatarbelakanginya itu yang penting. Kejadian ribut di jalan raya memang seringnya gara-gara hal sepele. Yang tidak sepele adalah latar belakang masalah yang mendasarinya.


Jika kamu sedang membaca tulisan ini, ini pesan saya selaku sesama pengguna jalan raya: Hal apapun di jalan raya, yang memancingmu untuk emosi, jangan terpancing. Tahan. Tahan. Tahan. Ingat keluarga di rumah. Ingat karir yang dibangun selama ini. Masalah di kantor, selesaikan di kantor. Masalah di rumah, selesaikan di rumah. Tentu dengan cara elegan dan bijaksana. Masalah di kantor jangan dibawa ke rumah. Masalah di rumah jangan dibawa ke kantor. Masalah di kantor dan di rumah, jangan sekali-kali dibawa ke jalan raya. Percaya sama saya, kebutuhan akan ledakan amarah memang terpenuhi, tapi efek sampingnya itu yang akan membuatmu merugi. 


Satu masalah yang ada, selesaikan di tempat yang sama. Jangan dibawa kemana-mana. Jalan raya hanya perantara antara dirimu dan tempat tujuan. Jangan jadikan perantara itu masalah baru yang menambah daftar masalahmu di rumah di kantor. Berkendara di jalan raya dibawa happy aja. Bikin situasinya segokil mungkin. Kejadian yang mengusik, cukup tertawakan saja.[]

Di media sosial jenis apapun. Postingan dalam bentuk apapun, seringkali saya mendapati komentar bernada  cringe . Awalan komentarnya adalah:...

Di media sosial jenis apapun. Postingan dalam bentuk apapun, seringkali saya mendapati komentar bernada cringe. Awalan komentarnya adalah: "Maaf, sekedar mengingatkan..." kata-kata selanjutnya bisa kamu tebak sendiri.


Kalau hendak mengingatkan orang lain, silakan ingatkan saja. Tidak perlu ada kata maaf, karena kamu tidak sedang bersalah. Pun tak perlu ada tambahan kata sekedar, karena yang namanya mengingatkan tidak tidak ada kata sekedar, alakadar, full, setengah, seperempat. Mengingatkan, ya mengingatkan saja.


Photo by Brett Jordan on Unsplash

Misal, kita ingin mengingatkan teman kerja kita bahwa besok hari senin ada apel pagi di kantor kecamatan, "Bro, besok jangan lupa kita ada apel di kantor kecamatan, ya." Simpel bukan? Tapi kita coba pakai kalimat tambahan, "Bro, maaf, sekedar mengingatkan, besok kita ada apel di kecamatan ya?" Enak didengar? Hmm. Menurut saya tidak. Terlalu apa ya? Gak sreg aja, gitu.


Contoh di atas merupakan peringatan dalam konteks umum. Bukan dalam konteks nasihat. Jadi kalaupun dipakai awalan kalimat "Maaf, sekedar mengingatkan" masih terdengar netral, walaupun agak ngeselin.


Di luar itu, seringkali, awalan kalimat "Maaf, sekedar mengingatkan" ini dipakai dalam konteks nasihat keagamaan. Ini baru terasa betul cringe-nya. Sebetulnya saya gatal ingin memberikan contoh kalimat versi utuhnya, tapi takut dicap menista dan dipersekusi. Hehe. Tapi kamu pasti tahulah maksud saya.


Bagi saya, orang yang sok-sok memberikan nasihat keagamaan dengan awalan kalimat "Maaf, sekedar mengingatkan", adalah orang yang tidak percaya diri dengan apa yang ia sampaikan. Di sisi lain ia bukan ahli agama, tapi di saat yang sama ia ingin menasihati orang lain tentang agama. Maka, jadilah awalan kalimat "Maaf, sekedar mengingatkan" ini sebagai tameng pengaman, agar orang yang diingatkan tidak menyerang balik.


Kasarnya, eh ngapain lo nyerang balik peringatan gue, kan gue udah minta maaf dan itu hanya sekedar mengingatkan. Ingat ya, sekedar. Jadi peringatan saya untuk Anda gak banyak, hanya sekedar. Jadi, gak usah ngegas. See? Akhirnya kita paham bahwa kalimat "Maaf, sekedar mengingatkan" adalah sebagai jurus untuk melindungi diri.


Aslinya, kalau memang kita ahli agama, rasanya sangat tidak perlu menambahkan kalimat "Maaf, sekedar mengingatkan" kepada umat jikalau kita sedang ingin mengingatkan. Boleh ya boleh, gak boleh ya gak boleh. Wajib ya wajib. Harom ya harom. Tidak perlu embel-embel kalimat pengaman "Maaf, sekedar mengingatkan" saat sedang mengingatkan.


Dalam hal mengingatkan, kita juga harus tahu siapa diri kita. Apa bisa kita. Apa keahlian kita. Ambil contoh, anggap saja ada seorang montir, kemudian ia gatal ingin memberikan  nasihat atau peringatan tentang agama kepada sesama rekan montirnya. Jika ia sekonyong-konyong mengingatkan rekannya tanpa ada kalimat pengaman "Maaf, sekedar mengingatkan" maka siap-siap saja, kemungkinan besar, nasihatnya akan dihalau dengan jawaban, "Ah sok tahu, lu."


Lain hal kalau seperti ini, si montir tadi, hendak memberikan nasihat tentang perawatan mesin mobil kepada seorang pemuka agama yang kebetulan mobilnya sedang di-treatment sama si montir. Tanpa kalimat pengaman "Maaf, sekedar mengingatkan" pun, pemuka agama tadi akan nrimo saran si montir. Pemuka agama itu mafhum bahwa skill dan kompetensi seorang montir adalah soal mesin. Mau si montir ngomongnya kasar dan gak sopan pun, kalau itu masih ada kaitannya dengan dunia permesinan, ya pasti didengar.


Sekarang situasinya dibalik, pemuka agama tadi ingin memberikan nasihat permesinan kepada rekannya sesama pemuka agama, rasanya kalimat pengaman "Maaf, sekedar mengingatkan" perlu ditambahkan sebelum rekannya menjawab, "Hmm, Romo Gus sok tahu ya." 


Ilustrasi lainnya, silakan kamu cari sendiri ya!


Maksud saya adalah, saat kita mengenali dengan jelas skill dan kompetensi kita, keahlian kita, maka kita tidak membutuhkan kalimat "Maaf, sekedar mengingatkan" ketika kita sedang memberikan nasihat atau saran yang berkaitan dengan keahlian kita. Karena orang jelas tahu dan percaya akan kompetensi kita. Artinya, ini menurut saya, saat kita mulai tergoda untuk menambahkan kalimat "Maaf, sekedar mengingatkan" dalam pernyataan kita, itu adalah pertanda bahwa kita sedang mengungkapkan sesuatu yang kita tidak ahli di dalamnya. Alias, kita sedang sok-sokkan tahu.[]


Ada dikotomis yang sering disalahartikan: Manusia biasa dan manusia luar biasa. Dikatakan manusia biasa ketika yang terlihat adalah seseoran...

Ada dikotomis yang sering disalahartikan: Manusia biasa dan manusia luar biasa. Dikatakan manusia biasa ketika yang terlihat adalah seseorang yang tak punya pekerjaan, tak memilik pangkat, gelar ataupun jabatan. Pakaian sederhana atau bahkan lusuh compang-camping. Haqqul yakin, ketika kita sedang berada di lampu merah, kemudian di depan kita melihat manusia silver sedang membungkuk-bungkuk, menenteng ember cat dan mengasong kepada pengendara agar ember cat-nya diisi uang barang berapa rupiah. Dalam hati, kita bergumam: ini manusia biasa. 


Photo by Nathan Cima on Unsplash

Pun saat mendekati hari raya besar keagamaan, kita melihat banyak wanita-pria paruh baya di trotoar dengan karung di tangan kanan, tangan kiri menuntun anak kecil (entah anak siapa). Mereka mengiba, menampakkan muka memelas, menunjukkan keletihan. Berharap ada segelintir pengendara mobil dan motor melipir, lantas memberikan THR alakadarnya. Dalam hati kita kembali bergumam: itu manusia biasa.


Untuk mereka yang kita juluki manusia luar biasa. Spesifikasinya hampir disepakati: berpangkat, punya gelar dan jabatan, success before 30, Putri Tanjung, mobilnya Ayla, motornya Fazzio. :) Singkat kata, untuk mereka yang kita labeli manusia luar biasa adalah mereka yang sukses secara karir, pendidikan, riwayat darah biru. Kita sudah tidak perlu bergumam. Jelas-jelas kita ingin berteriak: mereka manusia luar biasa.


Sayangnya saya tidak berminat berpikir seperti di atas. Parameter bahwa manusia itu bisa menjadi biasa atau luar biasa tidak diukur dari apa yang saya gambarkan di atas. Pertama, saya ingin katakan terlebih dahulu bahwa tidak ada yang namanya manusia biasa. Saya menilai bahwasannya semua manusia yang ada di muka bumi ini semuanya luar biasa. Luar biasa dalam hal apa? Pertama luar biasa dalam hal esensi sebagai manusia itu sendiri.


Ambil contoh: Gelandangan di pinggir jalan dengan baju compang-camping, kemudian disandingkan dengan Putri Tanjung yang duduk di Gedung TransTV dengan blazzer anggunnya. Bagi saya keduanya sama saja. Sama-sama luar biasa. Bahwa secara tampilan fashion memang beda, iya, tapi secara organisme keduanya sama. Sama-sama manusia dengan segala kompleksitas sistem fisiologi dalam tubuhnya. Keduanya sama-sama dibanjiri hormon serotonin ketika dihadirkan pada situasi menyenangkan. 


Hanya saja keluarbiasaan manusia itu bisa terdegradasi oleh sikap dan sifat manusia itu sendiri. Sikap dan sifat seperti apa yang membuat manusia itu tetap bisa dilabeli manusia luar biasa? Sederhana saja: sifat dan sikap yang membuat manusia itu diharapkan keberadaanya oleh manusia lain. Dengan kata lain, manusia akan menjadi luar biasa ketika keberadaannya menjadi manfaat bagi orang lain. Bermanfaat secara apa? bermanfaat secara apapun, entah dalam hal kemampuan, keilmuan, material. Andaipun itu belum bisa digapai, paling tidak level terendah manusia dianggap luar biasa adalah dengan tidak bikin onar, tidak bikin kesel orang, tidak merugikan. Itu sudah cukup.


Jadi saya menilainya secara terbalik. Awalnya semua manusia itu luar biasa secara esensi. Sampai ia turun ke derajat manusia biasa, atau bahkan bisa lebih rendah derajatnya dari hewan, manakala ia tak bisa bermanfaat untuk lingkungan. Manakala kerjaannya hanya bikin onar dan membuat orang merasa tidak aman dan tak nyaman.


Gelandangan tadi, yang awalnya kita nilai manusia biasa. Ternyata realitasnya adalah seorang pemulung barang bekas. Ia menjadi pemburu-pengumpul. Lantas menjual barang bekasnya,  kemudian hasilnya digunakan untuk menafkahi anak-istri, bagi saya ia adalah manusia luar biasa, karena berhasil memberikan manfaat kepada manusia sekitarnya. Walaupun dengan segmen yang sempit.


Putri Tanjung, yang awalnya kita nilai sebagai manusia luar biasa, ternyata, anggaplah, dia hanya numpang tenar bapaknya. Kerjaan tak ada. Cuma bisa marahin asisten rumah tangga. Anggap saja loh ya. Bagi saya dia hanya manusia biasa, karena tidak memberikan manfaat untuk manusia di sekitarnya. Maaf loh Bu Putri, ini contoh saja.


Dimensi keluarbiasaan manusia biasa menjadi semakin luas dengan cara menaikkan skala kebermanfaatan. Semakin luas orang yang merasakan manfaat hadirnya kita, siapapun kita, bergelar atau tanpa gelar,  sukses atau tidak, punya jabatan ataupun tidak, pejabat ataupun swasta, ASN ataupun honorer. Selama orang-orang di sekitar merasakan manfaat kehadiran kita, itulah indikator bahwa kita adalah manusia luar biasa.[]

Terapi Diri. Sebelum lebih lanjut membahasnya, ada baiknya kita memahami masing-masing dari kedua kata itu.  Photo by Becca Tapert on Unspl...

Terapi Diri. Sebelum lebih lanjut membahasnya, ada baiknya kita memahami masing-masing dari kedua kata itu. 


Photo by Becca Tapert on Unsplash


Apa itu terapi? 

dan Apa itu diri?

Saya bukan ahli bahasa yang serta merta selalu merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Saya akan definisikan dengan cara saya saja, namun tentu saja tidak akan terlalu melenceng dari apa yang dimaksudkan oleh KBBI.

Terapi yang saya maksud di sini adalah segenap upaya yang dilakukan untuk memberbaiki masalah fisik dan psikis, meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup, hingga mengoptimalkan potensi yang ada di dalam tubuhmu.

Kemudian, apa itu diri?

Diri itu adalah kamu sendiri. Dengan kata lain, saat kamu mulai mengakses situs ini, berarti yang ingin kamu perbaiki adalah diri kamu sendiri. Bukan pasanganmu, bukan temanmu, bukan kerabatmu, tapi, sekali lagi, itu adalah diri kamu sendiri.

Andaipun kamu berkeinginan untuk memperbaiki orang yang kamu kasihi, biarlah mereka menemukan jalannya sendiri. Kamu tidak berkewajiban membagikan situs ini kepada siapapun. Kamu hanya fokus pada perbaikan diri kamu sendiri. Orang lain punya jalan sendiri. Tidak ada yang begitu benar dan begitu salah. Kamu pun tidak tergoda untuk menasehati dan menghakimi. Karena kamu tahu, sosok yang paling berhak kamu nasihati adalah diri kamu sendiri. Konsekuensinya, yang paling berkewajiban mempraktekkan nasihat-nasihatmu adalah kamu sendiri. 

Terakhir, saya ingin mengucapkan: Selamat datang di dunia realitas Terapi Diri.[]