Tidak pernah ada yang sederhana kalau berurusan dengan jalan raya. Senggolan knalpot motor, ngamuk. Merasa disalip, gak terima, ngamuk. Diseruduk kendaraan lain dari belakang, ngamuk. Tak sengaja saling bertatap-tatapan mata dengan pengendara lain, ya ngamuk lagi.
![]() |
Photo by Julien L on Unsplash |
Apapun masalahnya, ngamuk solusinya. Ngamuk everywhere. Everytime.
Mulanya saya berpikir: Mbok ya masalah disalip doang koq ngamuk. Mbok ya salip lagi saja. Atau paling tidak, jalan raya kan memang bukan arena balapan, salip-salipan, sungguhpun kita menjadi yang di depan, itu tidak otomatis membuat kita mendapatkan medali. Kecuali kalau memang kita sedang menjadi peserta turnamen balapan.
Hampir semua kejadian ribut-ribut besar di jalanan berangkat dari masalah yang dianggap sepele. Namun itu adalah pandangan tunggal nan sempit. Karena pandangannya dibuat tunggal, hanya ditujukan pada kejadian yang sedang berlangsung. Komentar yang dilontarkan biasanya seperti ini: Kenapa ribut-ribut tuh? Biasa, senggolan senggolan doang.
Setelah saya merenung 10 jam, iya, mulanya memang senggolan knalpot doang. Tapi sebelum terjadinya senggolan knalpot itu, kita juga perlu tahu, apa yang sebelumnya dialami si korban, sebelum terjadi “senggolan knalpot doang” itu. Boleh jadi masalah utamanya memang bukan senggolan-senggolan doang, tapi ada kehormatan atau harga diri yang tersenggol di tempat lain. Pada akhirnya, senggolan knalpot doang merupakan trigger atau pemicu ledakan amarah si korban senggolan knalpot itu.
Pandangan tunggal nan sempit itu pun saya coba kembangkan. Saya akan buat ilustrasi: Sebut saja namanya Dafa, ia adalah seorang TNI pangkat rendah di kesatuannya. Karena ada masalah disiplin, di satu hari dia kena semprot komandannya. Bukan cuma semprotan lisan, Dafa juga dihukum push-up 250 kali, namun pada hitungan ke 236, dia ambruk karena pegal, Dafa kena tampar komandannya, lantas disuruh mengulang push-up dari awal. Dafa kesal, tapi tak bisa melawan. Ia pun pasrah mengulang dari awal.
Hari itu kekesalan Dafa membuncah, namun tak kuasa dikeluarkan. Sang komandan memang bukan tandingannya. Ia hanya menahan amarahnya. Kalem di luar, mendidih di dalam. Sampai jam piket berakhir, ia pulang ke rumah membawa kedongkolan luar biasa pada sang komandan. Di lampu merah menuju jalan pulang, tiba-tiba ia diseruduk bocil dari belakang. Tidak terlalu keras, pun tak sampai membuat spakbor belakang motornya penyok.
Dafa yang sudah menabung kekesalan dari kantor, langsung turun dari motornya melabrak si bocil, “Maksud lu apa nyeruduk-nyeruduk?” Bocil yang gelagapan melihat TNI berseragam, “Ampun, Bang, maaf gak sengaja.” Dafa Muntab, “apa lu gak sengaja?” Bogem mentah pun mendarat di wajah bocil. Pengendara lain menonton. Para ojol yang melintas sibuk mengeluarkan gawainya: mengabadikan momen dramatis untuk dibagikan di grup ojol. “Parah, anggota TNI nampol bocil.” Begitulah kapsi pada video yang mereka bagikan.
Urusan semakin meruncing. Kamu bisa menebak kelanjutannya seperti apa.
Lihatlah, sejatinya Dafa tidak marah kepada si Bocil. Dafa marah dan kesal kepada komandannya. Diseruduk hanya pemicu. Ditambah yang menyeruduk dinilai tampak tak berdaya dan lemah secara status sosial menurut Dafa. Akhirnya Dafa melampiaskan amarahnya secara membabibuta. Dalam situasi itu, yang ada dalam pikiran Dafa bukan “Apa konsekuensi saya melakukan tindakan berlebihan ini?” tapi “Bodo amat, yang penting kedongkolan saya terselesaikan.” Pikiran rasional dalam kondisi tidak berlaku. Bahwa di ujung cerita Dafa menyesal. Kasus menjadi viral, bahkan bisa melibatkan institusi. Yang lebih fatal, boleh jadi aksi bogem mentah kepada si bocil tadi adalah titik awal Dafa harus menggantungkan seragam TNI-nya: dipecat. Membuat karir Dafa menjadi suram.
Cerita lainnya lebih berwarna dan beragam. Namun benang merahnya adalah, ngamuk di jalan itu adalah satu situasi, namun situasi lain yang melatarbelakanginya itu yang penting. Kejadian ribut di jalan raya memang seringnya gara-gara hal sepele. Yang tidak sepele adalah latar belakang masalah yang mendasarinya.
Jika kamu sedang membaca tulisan ini, ini pesan saya selaku sesama pengguna jalan raya: Hal apapun di jalan raya, yang memancingmu untuk emosi, jangan terpancing. Tahan. Tahan. Tahan. Ingat keluarga di rumah. Ingat karir yang dibangun selama ini. Masalah di kantor, selesaikan di kantor. Masalah di rumah, selesaikan di rumah. Tentu dengan cara elegan dan bijaksana. Masalah di kantor jangan dibawa ke rumah. Masalah di rumah jangan dibawa ke kantor. Masalah di kantor dan di rumah, jangan sekali-kali dibawa ke jalan raya. Percaya sama saya, kebutuhan akan ledakan amarah memang terpenuhi, tapi efek sampingnya itu yang akan membuatmu merugi.
Satu masalah yang ada, selesaikan di tempat yang sama. Jangan dibawa kemana-mana. Jalan raya hanya perantara antara dirimu dan tempat tujuan. Jangan jadikan perantara itu masalah baru yang menambah daftar masalahmu di rumah di kantor. Berkendara di jalan raya dibawa happy aja. Bikin situasinya segokil mungkin. Kejadian yang mengusik, cukup tertawakan saja.[]