Ada dikotomis yang sering disalahartikan: Manusia biasa dan manusia luar biasa. Dikatakan manusia biasa ketika yang terlihat adalah seseorang yang tak punya pekerjaan, tak memilik pangkat, gelar ataupun jabatan. Pakaian sederhana atau bahkan lusuh compang-camping. Haqqul yakin, ketika kita sedang berada di lampu merah, kemudian di depan kita melihat manusia silver sedang membungkuk-bungkuk, menenteng ember cat dan mengasong kepada pengendara agar ember cat-nya diisi uang barang berapa rupiah. Dalam hati, kita bergumam: ini manusia biasa.
![]() |
Photo by Nathan Cima on Unsplash |
Pun saat mendekati hari raya besar keagamaan, kita melihat banyak wanita-pria paruh baya di trotoar dengan karung di tangan kanan, tangan kiri menuntun anak kecil (entah anak siapa). Mereka mengiba, menampakkan muka memelas, menunjukkan keletihan. Berharap ada segelintir pengendara mobil dan motor melipir, lantas memberikan THR alakadarnya. Dalam hati kita kembali bergumam: itu manusia biasa.
Untuk mereka yang kita juluki manusia luar biasa. Spesifikasinya hampir disepakati: berpangkat, punya gelar dan jabatan, success before 30, Putri Tanjung, mobilnya Ayla, motornya Fazzio. :) Singkat kata, untuk mereka yang kita labeli manusia luar biasa adalah mereka yang sukses secara karir, pendidikan, riwayat darah biru. Kita sudah tidak perlu bergumam. Jelas-jelas kita ingin berteriak: mereka manusia luar biasa.
Sayangnya saya tidak berminat berpikir seperti di atas. Parameter bahwa manusia itu bisa menjadi biasa atau luar biasa tidak diukur dari apa yang saya gambarkan di atas. Pertama, saya ingin katakan terlebih dahulu bahwa tidak ada yang namanya manusia biasa. Saya menilai bahwasannya semua manusia yang ada di muka bumi ini semuanya luar biasa. Luar biasa dalam hal apa? Pertama luar biasa dalam hal esensi sebagai manusia itu sendiri.
Ambil contoh: Gelandangan di pinggir jalan dengan baju compang-camping, kemudian disandingkan dengan Putri Tanjung yang duduk di Gedung TransTV dengan blazzer anggunnya. Bagi saya keduanya sama saja. Sama-sama luar biasa. Bahwa secara tampilan fashion memang beda, iya, tapi secara organisme keduanya sama. Sama-sama manusia dengan segala kompleksitas sistem fisiologi dalam tubuhnya. Keduanya sama-sama dibanjiri hormon serotonin ketika dihadirkan pada situasi menyenangkan.
Hanya saja keluarbiasaan manusia itu bisa terdegradasi oleh sikap dan sifat manusia itu sendiri. Sikap dan sifat seperti apa yang membuat manusia itu tetap bisa dilabeli manusia luar biasa? Sederhana saja: sifat dan sikap yang membuat manusia itu diharapkan keberadaanya oleh manusia lain. Dengan kata lain, manusia akan menjadi luar biasa ketika keberadaannya menjadi manfaat bagi orang lain. Bermanfaat secara apa? bermanfaat secara apapun, entah dalam hal kemampuan, keilmuan, material. Andaipun itu belum bisa digapai, paling tidak level terendah manusia dianggap luar biasa adalah dengan tidak bikin onar, tidak bikin kesel orang, tidak merugikan. Itu sudah cukup.
Jadi saya menilainya secara terbalik. Awalnya semua manusia itu luar biasa secara esensi. Sampai ia turun ke derajat manusia biasa, atau bahkan bisa lebih rendah derajatnya dari hewan, manakala ia tak bisa bermanfaat untuk lingkungan. Manakala kerjaannya hanya bikin onar dan membuat orang merasa tidak aman dan tak nyaman.
Gelandangan tadi, yang awalnya kita nilai manusia biasa. Ternyata realitasnya adalah seorang pemulung barang bekas. Ia menjadi pemburu-pengumpul. Lantas menjual barang bekasnya, kemudian hasilnya digunakan untuk menafkahi anak-istri, bagi saya ia adalah manusia luar biasa, karena berhasil memberikan manfaat kepada manusia sekitarnya. Walaupun dengan segmen yang sempit.
Putri Tanjung, yang awalnya kita nilai sebagai manusia luar biasa, ternyata, anggaplah, dia hanya numpang tenar bapaknya. Kerjaan tak ada. Cuma bisa marahin asisten rumah tangga. Anggap saja loh ya. Bagi saya dia hanya manusia biasa, karena tidak memberikan manfaat untuk manusia di sekitarnya. Maaf loh Bu Putri, ini contoh saja.
Dimensi keluarbiasaan manusia biasa menjadi semakin luas dengan cara menaikkan skala kebermanfaatan. Semakin luas orang yang merasakan manfaat hadirnya kita, siapapun kita, bergelar atau tanpa gelar, sukses atau tidak, punya jabatan ataupun tidak, pejabat ataupun swasta, ASN ataupun honorer. Selama orang-orang di sekitar merasakan manfaat kehadiran kita, itulah indikator bahwa kita adalah manusia luar biasa.[]